Ketika Para Waria Mencari Tuhan...
Rabu, 17 September 2008 | 06:23 WIB
MUNGKIN ini pertama kali di Tanah Air, ada "pesantren" khusus waria. Jumlah jamaahnya memang belum banyak, namun mereka terlihat amat serius mendalami agama. Kerinduan pada Tuhan, rata-ta menjadi alasan utama mereka bergabung di situ.
Ayat-ayat suci merdu bergema dilantunkan seorang ustaz, diikuti sekitar 20-an jamaah. Para jamaah itu ada yang mengenakan sarung, ada pula yang memakai mukena. Mereka bersama-sama mengagungkan asma Allah di bulan Ramadhan ini. Ketika azan magrib bergema, mereka sesaat makan-minuman ringan untuk berbuka puasa lalu dilanjutkan dengan salat Magrib bersama.
Malam itu, kegiatan bernapaskan keagamaan terus bergulir di rumah yang berlokasi di Kampung Notoyudan, Gedong Tengen, Yogyakarta. Para jemaah menimba ilmu agama dari para ustaz. Sebagian menginap untuk melanjutkan pelajaran. Aktivitas terus berlanjut, mulai dari berzikir, lalu salat tahajut setelah sejenak tidur. Menjelang salat Subuh, mereka juga terus belajar doa-doa.
Yang membedakan dengan pengajian lain, pesertanya bukan pria ataupun wanita, melainkan waria. Mereka bergabung dalam Pondok Pesantren Senin-Kamis, khusus waria. “Meski waria, kami tetap ingin dekat dengan Allah. Teman-teman waria di sini rindu menyapa Allah,” ujar Mariyani (48), sang pendiri sambil menyebut nama-nama rekannya yang sebagian berasal dari luar kota.
Ada Lili dari Jakarta, Tutik dan Ari dari Padang dan Batusangkar (Sumbar), atau Yessy dari Medan. “Sungguh kawan-kawan itu juga ingin beribadah seperti layaknya kaum muslim,” kata Mariyani yang jujur mengaku dirinya waria.
Diajak ke makam
Dikisahkan Mariyani, kerinduannya pada Allah sudah terjadi 10 tahun silam. Waktu itu ia bergabung dengan kelompok pengajian Mujahadah Al Fatah asuhan KH Hamroeli Harun MSc. “Dari sekian banyak jemaah Pak Kiai, hanya saya yang waria. Meski begitu, Pak Kiai berkenan merangkul dan membimbing saya. Bahagia sekali saya bisa belajar agama dari beliau. Saya bisa bersujud di hadapan Allah,” kata Mariyani dengan wajah berbinar.
Mariyani yang pernah tiga tahun jadi Ketua Waria Yogyakarta ini semakin aktif dalam kegiatan religius. Saat gempa melanda Yogya, ia mengajak para waria se-DIY mengadakan doa bersama. “Bencana, kan, datang dari Allah. Makanya kita semua harus ingat Allah. Nah, kami sekitar seratusan waria, berdoa mohon diberi ampunan. Selain dari Yogya, banyak kawan waria dari luar kota datang,” kisahnya.
Sampai akhirnya dua tahun silam, waria yang membuka salon ini mengadakan pengajian khusus waria tiap Rabu Pon. Beberapa waria tertarik bergabung. Bahkan, ibu-ibu di lingkungan rumah kontrakannya juga terlibat. “Senang sekali ada kiai yang merangkul kami. Teman-teman waria diajari salat, mengaji, juga bacaan doa sehari-hari. Yang lebih membahagiakan, kegiatan saya mendapat dukungan masyarakat.”
Langkah cerdas dilakukan Mariyani untuk menyentuh hati rekan-rekannya. “Saya ajak kawan-kawan berziarah ke makam waria yang sudah meninggal. Ada yang meninggal terserempet kereta waktu bekerja, ada yang sakit, dan seterusnya. Rata-rata tak pernah didoakan keluarganya. Nah, saat di makam, kawan-kawan jadi paham, suatu saat pasti akan bernasib seperti mereka. Tak sedikit kawan-kawan yang menitikkan airmata. Muncul kesadaran untuk dekat dengan Allah. Pelan-pelan ada yang bergabung dengan pengajian saya,” kata Mariyani.
Begitulah, kegiatan Rabu Pon terus berlanjut. Nah, menjelang Ramadhan, Mariyani ingin kawan-kawannya lebih intensif lagi mengagungkan asma Allah. Dua bulan silam, berkat dukungan KH Hamroeli, ia mendirikan Pondok Pesantren Senin-Kamis, khusus waria. Ia hanya memberitahu kawan-kawannya, “Tanpa paksaan. Para waria memang tidak bisa dipaksa. Dia datang ke mari kalau hatinya sendiri yang menggerakkan. Alhamdulillah, tanggapan teman-teman memang bagus. Mereka saya cakup semua. Mulai dari waria pengamen, salon, sampai yang masih keluar malam. Ada 20-30 orang,” papar Mariyani.
Boleh sarung atau mukena
Meski namanya Ponpes Senin-Kamis, kegiatan sudah dimulai sehari sebelumnya dan mulai berlangsung sekitar jam 16.00. Dibimbing para ustaz, mereka belajar membaca Al Quran. ”Malamnya, kami wirid, lalu baca doa kesehatan, mohon rezeki, sampai tahajud. Tidur sebentar, disambung lagi salat fajar jam 03.30, kemudian salat subuh,” kata Mariyani yang mendapat bimbingan dari sekitar 20 ustaz secara bergantian.
Menurut Mariyani, banyak rekannya yang semula tidak paham sembahyang. “Pak ustaz dengan sabar mengajari. Mulai dari wudu sampai bacaan-bacaan doa. Sekarang ada teman yang sudah pintar azan, lho,” ujar Mariyani yang mengadopsi seorang anak ini. Semua itulah yang membuatnya bertekad meneruskan kegiatannya, tidak hanya pas Ramadhan.
“Saya baru berhenti kalau Allah memanggil saya. Senang sekali Pak Kiai dan para ustaz terus mendukung. Inilah yang bisa saya lakukan semampu saya. Kepada kawan-kawan, saya tidak minta apa-apa. Soal dana, saya sendiri yang coba mengatasinya. Syukurlah, ada saja yang bersedia menyumbang,” kata Mariyani yang penghasilannya ditopang dari membuka salon.
Untuk teman-temannya, Mariyani menyediakan sarung dan mukena untuk sembahyang. “Terserah kawan-kawan mau pakai apa. Sarung silakan, mau pakai mukena juga boleh. Yang penting kami bisa sembahyang. Soal diterima atau tidak, hanya Allah yang mengetahui," katanya mantap. (Henry Ismono)
Henry Ismono
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/17/06232748/ketika.para.waria.mencari.tuhan...
:http://www.detiek.com/?pilih=lihat&id=9438
MUNGKIN ini pertama kali di Tanah Air, ada "pesantren" khusus waria. Jumlah jamaahnya memang belum banyak, namun mereka terlihat amat serius mendalami agama. Kerinduan pada Tuhan, rata-ta menjadi alasan utama mereka bergabung di situ.
Ayat-ayat suci merdu bergema dilantunkan seorang ustaz, diikuti sekitar 20-an jamaah. Para jamaah itu ada yang mengenakan sarung, ada pula yang memakai mukena. Mereka bersama-sama mengagungkan asma Allah di bulan Ramadhan ini. Ketika azan magrib bergema, mereka sesaat makan-minuman ringan untuk berbuka puasa lalu dilanjutkan dengan salat Magrib bersama.
Malam itu, kegiatan bernapaskan keagamaan terus bergulir di rumah yang berlokasi di Kampung Notoyudan, Gedong Tengen, Yogyakarta. Para jemaah menimba ilmu agama dari para ustaz. Sebagian menginap untuk melanjutkan pelajaran. Aktivitas terus berlanjut, mulai dari berzikir, lalu salat tahajut setelah sejenak tidur. Menjelang salat Subuh, mereka juga terus belajar doa-doa.
Yang membedakan dengan pengajian lain, pesertanya bukan pria ataupun wanita, melainkan waria. Mereka bergabung dalam Pondok Pesantren Senin-Kamis, khusus waria. “Meski waria, kami tetap ingin dekat dengan Allah. Teman-teman waria di sini rindu menyapa Allah,” ujar Mariyani (48), sang pendiri sambil menyebut nama-nama rekannya yang sebagian berasal dari luar kota.
Ada Lili dari Jakarta, Tutik dan Ari dari Padang dan Batusangkar (Sumbar), atau Yessy dari Medan. “Sungguh kawan-kawan itu juga ingin beribadah seperti layaknya kaum muslim,” kata Mariyani yang jujur mengaku dirinya waria.
Diajak ke makam
Dikisahkan Mariyani, kerinduannya pada Allah sudah terjadi 10 tahun silam. Waktu itu ia bergabung dengan kelompok pengajian Mujahadah Al Fatah asuhan KH Hamroeli Harun MSc. “Dari sekian banyak jemaah Pak Kiai, hanya saya yang waria. Meski begitu, Pak Kiai berkenan merangkul dan membimbing saya. Bahagia sekali saya bisa belajar agama dari beliau. Saya bisa bersujud di hadapan Allah,” kata Mariyani dengan wajah berbinar.
Mariyani yang pernah tiga tahun jadi Ketua Waria Yogyakarta ini semakin aktif dalam kegiatan religius. Saat gempa melanda Yogya, ia mengajak para waria se-DIY mengadakan doa bersama. “Bencana, kan, datang dari Allah. Makanya kita semua harus ingat Allah. Nah, kami sekitar seratusan waria, berdoa mohon diberi ampunan. Selain dari Yogya, banyak kawan waria dari luar kota datang,” kisahnya.
Sampai akhirnya dua tahun silam, waria yang membuka salon ini mengadakan pengajian khusus waria tiap Rabu Pon. Beberapa waria tertarik bergabung. Bahkan, ibu-ibu di lingkungan rumah kontrakannya juga terlibat. “Senang sekali ada kiai yang merangkul kami. Teman-teman waria diajari salat, mengaji, juga bacaan doa sehari-hari. Yang lebih membahagiakan, kegiatan saya mendapat dukungan masyarakat.”
Langkah cerdas dilakukan Mariyani untuk menyentuh hati rekan-rekannya. “Saya ajak kawan-kawan berziarah ke makam waria yang sudah meninggal. Ada yang meninggal terserempet kereta waktu bekerja, ada yang sakit, dan seterusnya. Rata-rata tak pernah didoakan keluarganya. Nah, saat di makam, kawan-kawan jadi paham, suatu saat pasti akan bernasib seperti mereka. Tak sedikit kawan-kawan yang menitikkan airmata. Muncul kesadaran untuk dekat dengan Allah. Pelan-pelan ada yang bergabung dengan pengajian saya,” kata Mariyani.
Begitulah, kegiatan Rabu Pon terus berlanjut. Nah, menjelang Ramadhan, Mariyani ingin kawan-kawannya lebih intensif lagi mengagungkan asma Allah. Dua bulan silam, berkat dukungan KH Hamroeli, ia mendirikan Pondok Pesantren Senin-Kamis, khusus waria. Ia hanya memberitahu kawan-kawannya, “Tanpa paksaan. Para waria memang tidak bisa dipaksa. Dia datang ke mari kalau hatinya sendiri yang menggerakkan. Alhamdulillah, tanggapan teman-teman memang bagus. Mereka saya cakup semua. Mulai dari waria pengamen, salon, sampai yang masih keluar malam. Ada 20-30 orang,” papar Mariyani.
Boleh sarung atau mukena
Meski namanya Ponpes Senin-Kamis, kegiatan sudah dimulai sehari sebelumnya dan mulai berlangsung sekitar jam 16.00. Dibimbing para ustaz, mereka belajar membaca Al Quran. ”Malamnya, kami wirid, lalu baca doa kesehatan, mohon rezeki, sampai tahajud. Tidur sebentar, disambung lagi salat fajar jam 03.30, kemudian salat subuh,” kata Mariyani yang mendapat bimbingan dari sekitar 20 ustaz secara bergantian.
Menurut Mariyani, banyak rekannya yang semula tidak paham sembahyang. “Pak ustaz dengan sabar mengajari. Mulai dari wudu sampai bacaan-bacaan doa. Sekarang ada teman yang sudah pintar azan, lho,” ujar Mariyani yang mengadopsi seorang anak ini. Semua itulah yang membuatnya bertekad meneruskan kegiatannya, tidak hanya pas Ramadhan.
“Saya baru berhenti kalau Allah memanggil saya. Senang sekali Pak Kiai dan para ustaz terus mendukung. Inilah yang bisa saya lakukan semampu saya. Kepada kawan-kawan, saya tidak minta apa-apa. Soal dana, saya sendiri yang coba mengatasinya. Syukurlah, ada saja yang bersedia menyumbang,” kata Mariyani yang penghasilannya ditopang dari membuka salon.
Untuk teman-temannya, Mariyani menyediakan sarung dan mukena untuk sembahyang. “Terserah kawan-kawan mau pakai apa. Sarung silakan, mau pakai mukena juga boleh. Yang penting kami bisa sembahyang. Soal diterima atau tidak, hanya Allah yang mengetahui," katanya mantap. (Henry Ismono)
Henry Ismono
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/17/06232748/ketika.para.waria.mencari.tuhan...
:http://www.detiek.com/?pilih=lihat&id=9438
0 komentar :
Terima kasih atas kunjungannya...:)