Gema Zikir dari Pesantren Waria
09/09/2008 01:15:24
KETIKA Ramadan tiba, sebagai hamba Allah kaum wanita pria (Waria) juga ingin menjalankan ibadah di masjid atau musala seperti yang lain. Sayangnya di negeri ini, kehadiran mereka terkadang belum bisa diterima oleh masyarakat. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih meragukan keinginan kaum Waria untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Beruntung di tengah kondisi tersebut ada Pimpinan dan Pengasuh Mujahadah Al Fatah Drs KH Hamrolie Harun MSc memberikan solusi dengan mendirikan Pondok Pesantren Khusus Waria di Notoyudan GT II/1294 RT 85 Gedongtengen, Yogyakarta.
”Meski ruangnya sempit dan tidak sebagus pondok pesantren, namun lebih khusuk dalam beribadah, kami merasa diuwongke. Dengan bimbingan KH Hamrolie Harun dan 19 ustad yang lain kami mengisi Ramadan dengan belajar mengaji, salat, berbuka puasa bersama, tarawih, zikir (shalawat nariyah), tahajud dan sahur. Walaupun hanya 2 kali dalam seminggu (Senin dan Kamis) bisa mengaji bareng di pondok bagi kaum minoritas seperti kami sangat berarti,” kata Maryani (48) yang mengaku sudah lebih dari 10 tahun belajar mengaji dengan Ust Hamrolie.
Pondok pesantren di tengah kampung yang juga menjadi tempat tinggal Maryani dan anak angkatnya Risqi Aryani tersebut, resmi didirikan pada 8 Juli 2008. Dengan dukungan Ust KH Hamrolie Harun serta beberapa ustadz yang lain kaum Waria terlihat serius mengikuti setiap kegiatan seperti hafalan doa sehari-hari, bacaan salat, shalawat nariyah dan lain-lain. Tempat tak jadi masalah bagi Maryani, dan santri Waria namun hati yang lebih penting. Setiap Senin dan Kamis ada puluhan Waria dari berbagai daerah (Jakarta, Bandung, Palembang dan lain-lain) datang untuk belajar mengaji. Pakaian saat mengaji juga sederhana, yang mengenakan sarung dan peci di barisan depan sementara bagi mereka jilbab atau mukena di belakangnya. Menjelang adzan Magrib terdengar suara mereka mengumandangkan kebesaraan nama Allah dengan khusyuk.
Lily (49) salah seorang Waria yang berasal dari Jakarta mengaku sangat bersyukur dengan adanya pondok pesantren tersebut. Pasalnya dalam pondok tersebut Lily tidak hanya bisa berkumpul dengan saudaranya yang lain dari berbagai daerah, namun juga bisa beribadah dengan tenang tanpa dianggap aneh oleh jamaah yang lain.
”Memang kami pernah melakukan kesalahan. Tapi sebagai hamba Allah kami juga ingin beribadah untuk dijadikan bekal jika suatu saat dipanggil untuk menghadap kepadaNya,” ungkapnya haru.
Sementara itu ketika dimintai tanggapan terkait dengan kegiatan di Pesantren Waria Ust Heri Suchaeri (36) dari yayasan Mujahadah Al Fatah menjelaskan, saat melihat keseriusan dan semangat para Waria dalam menekuni ilmu agama dirinya sempat menitikkan air mata. Untuk memotivasi mereka, materi yang disampaikan sengaja dibuat sederhana. Seperti tata cara salat, doa sehari-hari, puasa, zikir dan lain-lain.
”Kegiatan di sini sengaja kami kemas mirip pesantren kilat. Lewat kegiatan sederhana itu kami berharap bisa mengingatkan mereka untuk senantiasa dekat pada Allah. Memang beberapa di antara mereka ada yang tidak tahu bacaan salat sama sekali atau huruf Hijaiyah dalam Alquran. Tapi bukan berarti mereka jadi putus asa, sebaliknya justru semakin bersemangat mendalami Islam,” jelasnya.
Bagi Heri, keberhasilan dalam pengelolaan Pondok Pesantren Waria tidak hanya ditentukan dari hafalan Alquran, jilbab dan lain-lain, tapi lebih pada keseriusan mereka dalam belajar. Sebab dengan adanya pemahaman, kesadaran tentang ibadah-ibadah itu bisa muncul dengan sendirinya. (Riyana)-z
Sumber:http://njowo.multiply.com/notes/item/342
0 komentar :
Terima kasih atas kunjungannya...:)